WEWENANG NOTARIS DALAM PEMBUATAN PPJB SETELAH DISAHKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

KEVIN JONATHAN, 12219058 (2022) WEWENANG NOTARIS DALAM PEMBUATAN PPJB SETELAH DISAHKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA. Masters thesis, Universitas Narotama.

[img] Text (HALAMAN JUDUL)
cover.pdf

Download (18MB)
[img] Text (BAB I)
bab I.pdf

Download (4MB)
[img] Text (BAB II)
bab II.pdf

Download (4MB)
[img] Text (BAB III)
bab III.pdf

Download (4MB)
[img] Text (BAB IV)
bab IV.pdf

Download (4MB)
[img] Text (DAFTAR PUSTAKA DAN LAMPIRAN)
daftar pustaka.pdf

Download (4MB)

Abstract

Pengikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB) dengan status Sertifikat Hak Milik merupakan perbuatan awal yang mendahului perbuatan hukum pada jual beli tanah. Kedua belah pihak bisa membuat PPJB tanpa harus membuat akta, PPJB ini tetap mengikat semua pihak. Hal inilah bisa terjadi ketika PPJB dibuat dengan memenuhi persyaratan sah perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Jadi pengikatan jual beli berbeda dengan perbuatan hukum jual beli tanah. Dari segi kewenangannya Notaris memiliki kewenangan membuat akta pengikatan jual beli tanah dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM), tetapi tidak berwenang membuat akta pengikatan perjanjian jual beli otentik jual beli tanah bersertifikat hak milik (AJB), karena kewenangan membuat akta jual beli tanah (AJB) bersertifikat Hak Milik ada pada PPAT. Berpijak pada Pasal 1870 KUHPerdata bahwa penegasan akta yang dibuat dihadapan notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Apabila menganalisa bahwa calon pembeli memang sebaiknya membuat PPJB dihadapan PPAT. Hal ini merupakan kewenangan PPAT dalam mencegah adanya perselisihan (tindakan hukum preventif) antara penjual dan pembeli. Apabila melihat dari sudut pandang Undang-Undang Cipta Kerja melalui isi PPJB tersebut, maka sepuluh hal yang diatur dalam PPJBmenurut Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995, antara lain (1) pihak pelaku kesepakatan, (2) kewajiban penjual, (3) uraian objek pengikatan jual beli, (4) pengalihan hak, (5) pembatalan pengikatan, dan juga (6) penyelesaian perselisihan. Turunan dari Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995 selanjutnya diatur dengan Permen PUPR No. 11/PRT/M/2019 yang mengatur tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah dimana sebelumnya telah dicabut dengan Kepmen 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tentang Kepmen 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah. Ketentuan terkait PPJB tertuang dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 11 Tahun 2019, dan juga dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Pasal 42 UU Rumah Susun, developer dapat melakukan pemasaran dan jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dilakukan. Dengan disertai syarat-syarat pembangunan yang ditetapkan dalam UU Rumah Susun, diharapkan dapat mengoptimalkan pemasaran dan memberi daya tarik bagi masyarakatselaku konsumen. Konsumen yang hendak membeli sarusun yang mana pembangunannya belum selesai dilakukan, dapat membuat PPJB terlebih dahulu dengan developer. Pasal 42 UU Rumah Susun ini memberikan kewenangan Notaris dan PPAT dalam optimalisasi penyelenggaraan jual beli rumah susun. Selain itu didalam Permen PUPR No. 11/PRT/M/2019 memberikan landasan hukum dalam optimalisasi pengaturan pebuatan PPJB satuan rumah susun. Bahkan Permen PUPR No. 11/PRT/M/2019 merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bahwa kedudukan pembeli dan developer telah sama dan seimbang. Ketika Developer membuat PPJB tidak sesuai dengan apa yang dipasarkan maka akan dikenakan sanksi sebagaimana Pasal 43 ayat (2) UU Rumah Susun. Dilain pihak pada UUCK Dengan terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Kementerian PUPR merasa bahwa perubahan terkait peraturan rumah susun perlu direvisi sehingga terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pasal 22 I ayat (7) diatur bahwa keterbangunan 20 persen untuk rumah tunggal/rumah deret dihitung dari seluruh jumlah unit serta ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum dalam suatu perumahan yang direncanakan, sedangkan untuk rumah susun 20 persen keterbangunan ditinjau dari volume kontruksi bangunan rumah susun yang sedang dipasarkan. Landasan Pasal 22 I ayat (7) inilah merupakan manifestasi terkait dengan syarat penandatanganan PPJB yang telah direvisi dalam PP 12/2021. Pada aspek kewenangan dalam penandatangan isi PPJB pada revisi PP 12/2021 terutama Pasal 22 I ayat (7) telah ditandatangani oleh calon pembeli dan pelaku pembangunan yang dibuat dihadapan Notaris, karena pada dasarnya adalah hakikat dari perjanjian yang bersumber pada Pasal 1338 KUHPerdata dimana perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya berlaku prinsip pacta suntservanda. Kata Kunci: Notaris, Pengikatan Perjanjian Jual Beli, UUCK

Item Type: Thesis (Masters)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum > Magister Kenotariatan
Depositing User: Repository Administrator
Date Deposited: 31 Jul 2023 02:05
Last Modified: 31 Jul 2023 02:05
URI: http://repository.narotama.ac.id/id/eprint/1681

Actions (login required)

View Item View Item

Downloads

Downloads per month over past year