ERWIN YOHANES, 02111071 (2016) WEWENANG JAKSA AGUNG DALAM MENGHENTIKAN PERKARA PIDANA. Undergraduate thesis, Universitas Narotama.
|
Text
SKRIPSI ERWIN YOHANES.pdf Download (145kB) | Preview |
|
Text
SKRIPSI erwin yohanes fulltext.pdf Restricted to Repository staff only Download (382kB) |
Abstract
Pada dasarnya, ada beberapa kewenangan Jaksa Agung dalam menghentikan proses perkara pidana. Namun, dalam kasus ini, penulis cuma mengambil contoh kasus yang pernah mendara para pimpinan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dua periode, yakni pada kepemimpinan Bibit-Candra dan terakhir pada masa kepemimpinan Abraham Samad dan Bambang Widjayanto. Para pemimpin KPK ini, mengalami persoalan yang sama, yakni terbelit kasus pidana. Entah itu direkayasa atau pun tidak, namun yang jelas, satu hal yang juga sama adalah nasib kasus mereka tidak pernah sampai ke pengadilan. Hak previlege Jaksa Agung untuk melakukan deponering ini, sebagaimana tercantum dalam pasal 35 huruf C UU no 16 tahun 2004 tentang kejaksaan. Alasan yang digunakan oleh Jaksa Agung, tentu saja mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Atas dasar ini lah, maka timbul rumusan masalah. Pertama, apakah definisi dari deponering itu sendiri dan apa akibat hukum serta pertimbangan Jaksa Agung menghentikan atau mengesampingkan atau deponering perkara pidana untuk kepentingan umum telah sesuai dengan prinsip hukum pidana ? Secara perundang-undangan, Jaksa Agung memiliki kewenangan prerogative yang termaktub dalam pasal 35 huruf C UU no 16 tahun 2004 tentang kejaksaan. Dalam pasal tersebut dinyatakan salah satu kewenangan JA adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum yang dimaksud adalah setelah mempertimbangkan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang berhubungan dengan masalah tersebut. Namun seperti diketahui, pada dasarnya penegakkan hukum mengandung makna bahwa hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Menurut Sudikno Mertokusumo, bagaimana hukumnya, itulah yang harus berlaku, pada dasarnya tidak diperbolehkan menyimpang. Philipus M. Hadjon menyatakan negara hukum merupakan terjemahan dari the rule of law. Menurut teori kedaulatan hukum, negara pada prinsipnya tidak berdasarkan atas kekuasaan tetapi harus berdasarkan atas hukum. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi untuk kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana, perkaranya dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan kepentingan demi kepentingan umum. Itulah sebabnya azas oportunitas ini bersifat diskriminatif dan menggagahi salah satu prinsip hukum equality before the law atau persamaan kedudukan di depan hukum.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Repository Administrator |
Date Deposited: | 08 Feb 2018 01:29 |
Last Modified: | 06 Mar 2018 07:01 |
URI: | http://repository.narotama.ac.id/id/eprint/26 |
Actions (login required)
View Item |