Evy Retno Wulan (2022) TEORI SERVER TERRITORIAL DALAM PENYELESAIAN KONFLIK YURISDIKSI KRIMINAL TINDAK PIDANA SIBER. 159/NR-LPPM/03/III/2022.
Text (LAPORAN PENELITIAN)
LAP AKHIR PENELITIAN MANDIRI TEORI SERVER TERRITORIAL DALAM PENYELESAIAN KONFLIK YURISDIKSI KRIMINAL TINDAK PIDANA SIBER.pdf Download (1MB) |
|
Image (Halaman Pengesahan)
HALAMAN PENGESAHAN.jpg Download (800kB) |
|
Image (Surat Tugas)
SURAT TUGAS.jpg Download (879kB) |
Abstract
Teknologi informasi membawa hubungan antar negara di dunia menjadi tanpa batas dan mampu membawa perubahan konsep-konsep sosial, ekonomi dan budaya di masyarakat dengan sangat cepat dan masif. Teknologi informasi selain membawa manfaat dan kontribusi terhadap masyarakat tetapi disisi lain menjadi sarana dalam melakukan perbuatan melawan hukum atau timbulnya cybercrime ( tindak pidana siber ). Terminologi lain yang muncul seiring dengan pertumbuhan dan penggunaan internet dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia adalah cyberspace (ruang siber). Salah satu masalah paling krusial yang dimunculkan oleh cybercrime ( tindak pidana siber ) adalah masalah yurisdiksi yang berkaitan dengan sejauh mana suatu negara dapat menerapkan kedaulatan hukumnya atau dengan kata lain sejauh mana kemampuan suatu negara menyidangkan suatu perkara bernuansa Internasional. Persoalan hukum dalam hal konflik yurisdiki antar negara seringkali muncul dengan adanya cybercrime ini, karena salah satu keunikan tindak pidana siber adalah bahwa satu tindak pidana yang dilakukan di suatu negara dapat menimbulkan akibat yang dilarang di negara lain. Ketika delik (perbuatan pidana) siber terjadi, maka permasalahan yang muncul adalah mengenai yurisdiksi penegakan hukumnya terhadap tindak pidana siber tersebut karena setiap negara memiliki kedaulatan penuh terhadap wilayahnya. Penerapan teori locus delicti dalam pengaturan yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana Nasional terhadap tindak pidana siber tidak dapat digunakan untuk menjelaskan yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana Nasional terhadap semua tindak pidana siber. Teori perbuatan materiil mengsyaratkan perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan dalam wilayah Negara. Teori alat juga didasarkan pada tempat dimana alat tersebut digunakan ada di wilayah Negara. Teori akibat berkaitan dengan delik materiil mensyaratkan adanya akibat dan akibat tersebut terjadi dan dalam wilayah negara. Teori akibat sesungguhnya lebih sempit dari doktrin efek yang berkembang dalam hukum Internasional. Doktrin efek tidak hanya berupa akibat saja tetapi juga adanya pengaruh yang terjadi atau dirasakan di wilayah Negara tersebut. Demikian pula dengan teori gabungan tetap didasarkan pada tempat baik tempat perbuatan dilakukan, tempat alat digunakan, atau tempat terjadinya akibat. Sedangkan tindak pidana siber dimungkinkan dilakukan di luar wilayah Negara baik perbuatan, alat maupun akibat. Teori-teori locus delicti tersebut tidak dapat menjangkau tindak pidana siber yang dilakukan di luar wilayah Negara manapun dengan korban/ kerugian ( bukan akibat dalam delik materiil ) terjadi di dalam wilayah Negara. Dalam pengaturan yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana yang bersifat ekstra-territorial berdasarkan prinsip-prinsip nasional, perlindungan dan universal tidak ditentukan tempat terjadinya tindak pidana. Demikian pula dengan kompetensi relative dari pengadilan untuk mengadili tindak pidana siber yang dilakukan di luar wilayah teritorial Negara tidak didasarkan pada tempat terjadinya tindak pidana. Berkaitan dengan konflik yurisdiksi yang dapat timbul dalam pemberantasan tindak pidana siber, maka masing masing negara harus melakukan kerjasama internasional. Berbagai cara dilakukan oleh negara-negara untuk menyelesaikan permasalahan yurisdiksi, namun apabila pelaku cybercrime berada di luar wilayah negara yang terkena dampak paling besar, maka harus dipikirkan bagaimana cara membawa pelaku tersebut ke negara tersebut. Cara yang biasa ditempuh oleh Negara-negara adalah melalui jalur kerjasama internasional. Berikut adalah bentuk kerjasama internasional yang di tempuh negara-negara untuk membawa pelaku cybercrime agar dapat diadili di negaranya:1) Ekstradisi dan Deportasi, 2) Bantuan Timbal Balik (Mutual Legal Assistance), dan 3) Pengalihan Perkara (Transfer of Proceedings). Dalam hal bentuk kerjasama Internasional tersebut akan terhalang atau mengalami kendala untuk bisa diwujudkan apabila apa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah tindak pidana siber menurut hukum Pidana Nasional Negara yang diminta. Dan hal tersebut berlaku sama untuk permintaan barang bukti yang ada di Negara yang diminta tempat pelaku tindak pidana siber berada. Ketika terjadi konflik yurisdiksi tindak pidana siber antar Negara, penyelesaian konflik yurisdiksi tindak pidana siber antar Negara tersebut ,maka antar negara-negara tersebut membuat kesepakatan untuk menentukan yurisdiksi tempat mengadili dan berlakunya Hukum Nasional Negara mana terhadap pelaku tindak pidana siber. Tidak adanya ketentuan yang tegas yang bisa digunakan sebagai landasan dalam penyelesaian konflik yurisdiksi antar Negara, akan menimbulkan kesulitan Negara mana berhak menerapkan yurisdiksi hukum Nasionalnya dalam tindak pidana siber karena masing masing Negara mempunyai yurisdiksi kriminal dalam menerapkan hukum Nasionalnya maupun tempat mengadili, apalagi tindak pidana siber mempunyai karakteristik transnasioanal dan boardeless sehingga akan melibatkan banyak kepentingan Negara dalam menerapkan yurisdiksi kriminalnya terhadap pelaku tindak pidana siber. Diperlukan suatu perumusan asas baru dalam mengatasi permasalahan konflik yurisdiksi kriminal antar negara untuk menentukan yurisdiksi kriminal negara mana yang dapat mengadili dan menerapkan hukum Nasionalnya dalam menjerat pelaku tindak pidana siber, agar konflik yurisdiksi kriminal antar Negara dalam tindak pidana siber bisa diselesaikan dan pertikaian antar negara dalam perundingan untuk mendapatkan kesepakatan penentuan negara mana yang dapat mengadili dan menjerat pelaku tindak pidana siber bisa dihindari . Dalam Konvensi Dewa Eropa 2001, hanya dijelaskan bila terjadi konflik yurisdiksi dari beberapa Negara terhadap tindak pidana siber, maka disarankan negara-negara tersebut melakukan perundingan untuk menentukan Negara mana yang bisa menerapkan yurisdiksi kriminalnya terhadap pelaku tindak pidana siber. Tentunya dalam penerapan perundingan antar negara tersebut akan rawan diwarnai oleh nuansa politik dan rawan pertikaian argumentasi di karenakan masing-masing Negara mempunyai hak dalam menerapkan yurisdiksi kriminalnya terhada pelaku tindak pidana siber. Diperlukan adanya suatu asas baru yang bisa diterapkan dalam mengatasi permasalahan konflik yurisdiksi kriminal antar negara, karena cara melalui perundingan dalam menentukan Yuridiksi kriminal Negara mana dapat mengadili pelaku tindak pidana siber menurut penulis masih belum efektif dalam penyelesaian konflik yurisdiksi tersebut. Dengan adanya suatu asas baru yang bisa dijadikan sebagai acuan ataupun pedoman dalam mengatasi konflik yurisdiksi antar Negara , maka penyelesaiannya cukup dengan menggunakan asas tersebut . Kata kunci : tindak pidana siber,yurisdiksi kriminal,konflik yurisdiksim, pengaturan yurisdiksi, ruang siber.
Item Type: | Patent |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) T Technology > T Technology (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Repository Administrator |
Date Deposited: | 25 Jul 2022 03:22 |
Last Modified: | 25 Jul 2022 03:22 |
URI: | http://repository.narotama.ac.id/id/eprint/1215 |
Actions (login required)
View Item |